Sedang dalam perbaikan
Sabtu, 21 April 2018
Malaikat Tanpa Sayap
Seiring berjalannya waktu, tanpa kusadari masa kanak - kanakku, bahkan masa remajaku sudah terlewat.
Begitupun juga.. tanpa kusadari kedua orang tuaku semakin tua.
Uban di kepalanya makin terlihat,
Keriput di wajahnya makin nampak.
Dan ternyata.. ibuku sudah tidak semuda dulu, sudah tidak sekuat bahkan sudah tidak selincah dulu.
Bagiku, ibuku adalah malaikat yang Tuhan kirimkan padaku..
Sosok yang sangat penyabar, kuat, tangguh dan tidak pernah menyerah.
Ibuku selalu tidur larut.
Entah karena beliau memikirkan apa yang akan disajikan di meja makan untuk keluarganya besok pagi, ataupun beradu dengan tumpukan kertas yang ia bawa dari kantor.
Yaa bisa dibilang, beliau yang selalu tidur paling akhir.
Hanya sekedar melihat pintu apakah sudah dikunci belum, melihat lampu ruang tamu apakah sudah dimatikan belum, dan memastikan semuanya baik - baik saja.
Namun....... ia pun orang pertama yang bangun.
Membangunkanku ayah dan adekku untuk sholat subuh.
Memasak, mencuci, dan semuanya.
Setiap pagi rumah selalu heboh dengan suara ibuku.
Meminta anaknya untuk segera mandi, sarapan..
"adek, dasinya jangan lupa, topinya juga, ikat pinggang."
"mbak, bekalnya dimasukkin tas dulu biar nggak ketinggalan."
Bahkan ibuku juga harus bersiap-siap untuk pergi ke kantor.
Sepulang dari kantor, wajahnya nampak lelah..
Dengan tumpukan kertas yang siap ia kerjakan malam harinya.
Aku tak bisa membayangkan.. betapa letihnya ia.
Aku sangat menyayangi ibuku.
Aku bisa menjadi sekarang karena ibuku.
Ibuku yang selalu mendongeng sebagai pengantar tidurku.
Ibuku yang selalu memberiku buku - buku.
Ibuku yang selalu mengajarkan padaku apa itu kerja keras, apa itu pantang menyerah, dan apa itu mimpi besar.
Beliau selalu mensupportku.
Bahkan saat segala impianku ditertawakan, saat impianku terdengar mustahil, beliau yang selalu tersenyum dan menguatkanku.
Ibuku selalu mengajakku untuk mengaji setelah sholat maghrib.
"Kamu sudah dewasa, ibu tak bisa membantumu banyak untuk masuk surga.. Mari selalu bertaqwa pada Allah.. Karena ibu juga berharap kita bisa dipersatukan di surga, namun amalanmu yaa tergantung dirimu, ayo berusaha bersama." ucapan ibu yang selalu aku ingat.
Ibuku yang selalu berpesan padaku, untuk tak buang - buang waktu dalam menjalani hidup.
Hidup itu hanya singkat, buatlah berarti.
Sungguh, aku sangat mencintainya.
Tulisan ini aku dedikasikan untuk ibuku.
Malaikat tak bersayap yang Tuhan berikan padaku.
Sepasang sepatu dan sekuntum mawar merah, tak semahal emas maupun berlian.
Bahkan tak ada apa-apanya jika dibandingkan jasa ibuku.
Namun, itu sebagai tanda rasa sayang, cinta, hormat dan kagumku padamu, ibu.
ILOVEYOU.
Selamat hari kartini, ibu.
Selasa, 17 April 2018
Sudut Stasiun
Sudut stasiun,
Kursi yang nyaman di tempat antrian,
Orang berlalu lalang dengan segala tujuan.
"Ayo cepat cepat....." seruan seorang bapak kepada istri dan anaknya.
"Iyaa tunggu bentar lagi" sahut istri sambil menenteng tas.
Terlihat repot dengan bawaannya,
Terlihat panik sambil sesekali menengok detik melingkar.
Huh.......
Semua orang sibuk dengan urusannya sendiri.
Seolah terburu-buru,
Seakan dikejar waktu.
Kursi nyaman di tempat antrian,
Tak sedikit yang bersenda gurau bersama teman,
Hanya untuk memecah keheningan.
Beberapa terlihat sedang bercengkerama bersama keluarga,
Untuk sekedar mengusir rindu yang akan menggebu,
Serta mengingkari jarak yang akan tercipta.
Ada yang datang sekedar menyapa,
Bertanya toilet sebelah mana.
Tapi lamunanku berhasil dibuyarkannya.
Sudut stasiun,
Ku tengok sebelah kanan.
Ternyata banyak orang yang terlihat bersama,
Namun sayang, mereka sibuk dengan telepon genggamnya sendiri.
"Ah generasi menunduk.", sontakku dalam hati.
Di sudut stasiun,
Aku temukan rasa dibalik sebuah makna,
Aku ciptakan ketenangan seiring dengan keramaian.
Sudut stasiun,
Saksi pilu akan hadirnya sebuah rindu,
Saksi ikhlas yang oleh pemiliknya dirasa tak pantas.
Saksi akan pahitnya penantian.
Saksi nyata sebuah ketulusan dan keyakinan.
Stasiun Lempuyangan,
Jogjakarta.
Kamis, 05 April 2018.
15:27
Kursi yang nyaman di tempat antrian,
Orang berlalu lalang dengan segala tujuan.
"Ayo cepat cepat....." seruan seorang bapak kepada istri dan anaknya.
"Iyaa tunggu bentar lagi" sahut istri sambil menenteng tas.
Terlihat repot dengan bawaannya,
Terlihat panik sambil sesekali menengok detik melingkar.
Huh.......
Semua orang sibuk dengan urusannya sendiri.
Seolah terburu-buru,
Seakan dikejar waktu.
Kursi nyaman di tempat antrian,
Tak sedikit yang bersenda gurau bersama teman,
Hanya untuk memecah keheningan.
Beberapa terlihat sedang bercengkerama bersama keluarga,
Untuk sekedar mengusir rindu yang akan menggebu,
Serta mengingkari jarak yang akan tercipta.
Ada yang datang sekedar menyapa,
Bertanya toilet sebelah mana.
Tapi lamunanku berhasil dibuyarkannya.
Sudut stasiun,
Ku tengok sebelah kanan.
Ternyata banyak orang yang terlihat bersama,
Namun sayang, mereka sibuk dengan telepon genggamnya sendiri.
"Ah generasi menunduk.", sontakku dalam hati.
Di sudut stasiun,
Aku temukan rasa dibalik sebuah makna,
Aku ciptakan ketenangan seiring dengan keramaian.
Sudut stasiun,
Saksi pilu akan hadirnya sebuah rindu,
Saksi ikhlas yang oleh pemiliknya dirasa tak pantas.
Saksi akan pahitnya penantian.
Saksi nyata sebuah ketulusan dan keyakinan.
Stasiun Lempuyangan,
Jogjakarta.
Kamis, 05 April 2018.
15:27
Selasa, 27 Maret 2018
HUJAN
Angin malam menyapa rintikan air yang turun
Begitu mesra,
Membuat ia merasa nyaman hingga lupa waktu
Kepadanya ia ceritakan seluruh lara.
Rasa yang menggebu bersama dengan tetesan air dari
empunya
Seolah lara begitu menghancurkan seluruh kalbu
Kepadanya ia katakan,
Kepadanya ia ungkapkan.
Seakan hujan mengerti,
Hingga dia dengan gagahnya menemani.
Lara yang semakin malam tak terobati,
Hingga lelap membawanya pada kenyamanan serta menggiringnya
pada mimpi.
Mentari pagi tak terlihat,
Karena hujan tetap tinggal, bersama sisa irisan hati
semalam.
Pahit, selalu mengalirkan sebuah nama
Menggoreskan pilu dikala malam mencumbu
Seperti hujan menghapuskan luka,
Bahkan pengharapan
Tak tersisa sedikitpun,
Memulai dengan langkah yang baru
Bersama hati yang tak utuh, dan kini mulai tumbuh.
Yogyakarta, 27 Maret 2018
yanisa putri.
Minggu, 25 Maret 2018
Amarah
Sedikitku berucap
Namun juga tak kau anggap
Salahkah diri ini
Yang selalu mengerti
Namun juga tak kau anggap
Salahkah diri ini
Yang selalu mengerti
Sebongkah kesabaranku hilang
Berganti dengan segenggam emosi
Semesta cintaku berkurang
Karna sikapmu yang melukai
Berganti dengan segenggam emosi
Semesta cintaku berkurang
Karna sikapmu yang melukai
Sempatku berderu
Karna kamu yang begitu
Gila aku jadinya
Hanya karena dia
Karna kamu yang begitu
Gila aku jadinya
Hanya karena dia
Apakah memang salahku
Ataukah keadaan yang memaksamu
Tak sedikitpun tau
Apa yang ada di benakmu
Ataukah keadaan yang memaksamu
Tak sedikitpun tau
Apa yang ada di benakmu
Memangku begitu
Buat kau kesal cemburu
Hanya ingin kamu tau
Aku butuh perhatianmu
Buat kau kesal cemburu
Hanya ingin kamu tau
Aku butuh perhatianmu
Hati suci yang jadi kelam
Haripun seakan tak berganti
Yang ada hanya malam
*catatan yanisa putri 12 April 2013 dengan separuh hati yang kini tak utuh lagi.
Langganan:
Komentar (Atom)

